Kemarin rabu 24 Juni 2009, gue mendatangi ‘calon sekolah’ gue bersama Risa, my classmate. Kami berangkat dengan wajah sumringah menuju bangunan yang usianya cukup tua dengan masjid yang terletak tepat di depan pintu masuk bangunan tersebut. Jalanan penuh dengan asap kendaraan orang tua yang mengantarkan anaknya mengikuti tes uji tulis yang diselenggarakan sekolah tersebut. Akhirnya kami sampai di depan gerbang dengan palang besar di atasnya bertuliskan Sekolah Menengah Farmasi ‘Indonesia’.
“Ayo, cepat-cepat waktunya tinggal 5 menit lagi!” teriak salah seorang guru yang menyemangati para peserta agar tidak membuang-buang waktu.
Akhirnya sampai di tempat pelaksanaan tes. Sebuah aula dimana sejauh mata memandang yang terlihat hanya kursi lipat. Sekilas gue lihat di depan sana ada meja-meja bertaplak merah tempat para panitia duduk. Begitu masuk area ‘panas’ tersebut, gue disambut dengan pertanyaan mbak-mbak, “nomor ujiannya berapa, dik?”
“Hah??” dengan keadaan setengah kaget gue mikir, nomor ujian gue berapa ya? Oh ya, “169, mbak.”
“Mari ikut saya,” kata mbak itu dengan gaya seorang pelayan yang akan menunjukan tempat dimana tamunya akan istirahat tersebut. Ya udah gue ikutin aja tuh mbak. Dan pergi meninggalkan Risa yang kelihatannya juga disamperin mbak-mbak yang laen.
Sampai di tempat dimana seharusnya gue duduk, ada penghuni lain yang sudah lebih dulu menempati kursi ‘panas’ gue itu! Ya ampun bisa-bisanya itu orang duduk di kursi gue.
“Dik, yakin nomornya 169?” tanya mbak itu.
“Yakin kok, mbak. Nggak mungkin salah,” jawab gue sambil celingukan mencari kartu peserta ujian di dalam tas. Akhirnya mbak itu manggil salah seorang gurunya. Gue nggak tau apa yang diomongin gara-gara mendadak panik. Gue nggak punya alas buat ngerjain! Tanpa babibu gue lari samperin salah seorang penjual alas sambil mikir berapa kocek yang bakal gue keluarin. Habis gue cuma bawa sepuluh ribu. Sebenarnya sepanjang perjalanan banyak yang nawarin, tapi berhubung gue nggak mau keluarin duit sepeser pun, ya sudah nggak dibeli.
“Berapa harganya, bu?” tanya gue pada seorang ibu yang sibuk mencari pembeli.
“Ini, sepuluh ribu,” sambil menyodorkan barang yang gue maksud. Ya ampun, pas bener ya. Ckckck.. Jadilah gue ambil barang yang disodorkan tadi dengan muka nggak rela.
Tiba-tiba dateng mas-mas yang bilang ke gue, “Dik, nggak usah beli alas. Nanti disediain kok.”
“HA!? Aduh kenapa nggak bilang dari tadi, mas!! Uuuhh!” Kata gue dalam hati. Ya udah gue samperin lagi ibu tadi dan berkata, “Bu, nggak jadi beli deh,” dengan nada tergesa-gesa. Gimana nggak tergesa-gesa. Lha, wong waktu yang tinggal dikit untuk menenangkan otak yang belum apa-apa udah tegang ini malah dipake bolak-balik untuk urusan ‘nggak penting’! Akhirnya Ibu tadi mengambil uang yang udah dimasukin ke dalam tasnya dan dengan muka kecewa sekaligus bingung mengembalikan uang tersebut kepada sang empunya. Dengan muka innocent gue meninggalkan Ibu itu.
Ternyata para penjual tadi berusaha menipu pembeli yang notabene tidak tahu-menahu kalau ternyata disediakan alas bagi peserta yang kebetulan tidak membawa atau nggak punya, kayak gue ini.
Sampai di tempat perkara kursi tadi, gue lihat si mbak-mbak celingukan nyari pesertanya yang tiba-tiba ilang ini. Aduh kasian banget. “Dik, mari duduk,” kata mbak itu menyambut kedatangan gue dengan tampang lega.
Akhirnya gue bisa duduk juga. Huh, saatnya mengatur nafas setelah sibuk berlari-lari kecil mengurus hal yang tak penting. Nah, ternyata ada salah seorang guru yang merhatiin kelakuan gue. Dia nyamperin gue lalu berkata, “Yang tenang ya, dik. Nggak usah tergesa-gesa.” Duh, nih Bapak, siapa juga yang pengin tergesa-gesa. Kalau bukan gara-gara tadi berangkat jam setengah delapan, lupa bawa alas, dan tragedi kursi, pasti nggak akan jadi kayak gini. Ya udah, gue cuma ngangguk dan tersenyum.
Ternyata gue ketinggalan banyak penjelasan. Peserta lain udah siap dengan lembar soal dan lembar jawaban dengan identitas terisi semua. Sementara gue yang baru dateng kebingungan, kok nggak dikasih lembarannya, ya? Akhirnya datang juga tuh lembaran penting via ibu guru berjilbab orange, kalo nggak salah. “Ini nanti diisi nama, nomor peserta, sekolah yang dituju SMF Indonesia, tanggal tes, dan tanda tangan.”
“Iya, Bu,” jawab gue sekenanya.
Akhirnya bel tanda mulai mengerjakan soal pun berbunyi. Semua peserta diminta mengecek lembar soal. Jika ada lembar yang kurang atau cetakan kurang jelas diminta melaporkannya pada guru terdekat.
Well, mulailah gue mengerjakan soal tersebut. Terlalu panjang kalau diceritain bagaimana proses mengerjakannya. Intinya semua soalnya berjumlah seratus dengan rincian Matematika, IPA, Bahasa Inggris masing-masing 30 nomor. Sisanya, 10 nomor, untuk pelajaran Bahasa Indonesia. Gue ngerasa kayak ngerjain soal TO biasa. Cuma yang ini materinya lebih luas lagi. Dan lumayan sulit untuk otak gue yang rada telmi ini.
Waktu 3 jam berlalu begitu cepat. Tau-tau udah bunyi aja bel pertanda kita harus menghentikan kegiatan tulis-menulis. Berbekal ilmu sejak SD, gue lancarkan aji-ajian favorit gue, Jurus Ngawuria, yang udah lumayan beken namanya dikalangan pelajar telmi seperti gue ini. Sambil berdoa dalam hati supaya pengawuran yang gue lakukan sukses.
Waktunya mencari Risa. Jangan-jangan ditinggal. Nggak mungkin! Akhirnya ketemu juga. Dia lagi berdiri di depan masjid sambil menatap layar HP-nya. Mungkin siap-siap menelpon temennya yang nggak muncul-muncul dari tadi. Emang sih, gue tadi duduk-duduk dulu di dalam sambil nunggu peserta lain keluar.
Setelah menunggu sampai jalanan agak sepi, berangkatlah kita di tengah teriknya matahari. Finally sampe juga di rumah dengan selamat.
Hari jumat dateng juga. Kali ini gue ditemenin bokap buat ngeliat siapa-siapa aja yang lulus tes tertulis. Jreeng.. jereengg.. jreenggjreengg... Gue nggak lulus. Kecewa? Boleh dibilang iya. Meskipun nggak seratus persen. Lha, aku masuk SMF bukan seratus persen keinginanku, melainkan keinginannya bonyok. Gue nyoba aja, siapa tau lulus bisa nyenengin Dady. Iming-iming hp baru lumayan membakar semangat gue. Tapi kayaknya Tuhan punya rencana laen buat anakNya ini. Say good bye buat Nokia 3600c..
Dalam perjalanan pulang gue liat muka Dady yang kayaknya juga kecewa. Secara kayaknya semua udah direncanakan dan dikonsentrasikan supaya kelak gue ngikutin jejaknya Dady. Tapi buktinya? “Kamu nggak lulus gara-gara administrasinya kurang lengkap doank,” kata Dady. Yah, mungkin bener, mungkin juga itu untuk membesarkan hati gue. “Ntar malem kita ke warnet. Jangan lupa bawa flshdisk buat ngopy formulir beasiswanya.” Perlu diketahui, ini merupakan planing kedua setelah mendaftar di SMF. Ikut program beasiswa.
Yah, kita liat aja besok. Sekarang lagi bingung mikirin mau masuk SMA mana. Gue nggak tau SMA di Jogja. Let it flow aja deh...
No comments:
Post a Comment