Hujan masih saja turun di luar
sana. Minuman cokelat panas yang sedari tadi kuseruput sudah tinggal setengah
gelas. Tidak terasa sudah 1 jam lebih kami duduk di tempat ini. Hujan yang tadi
turun tiba-tiba memaksa kami untuk segera mencari tempat berteduh dan kafe
kecil ini menjadi penyelamat kami. Ketika kami tiba, hanya ada 3 orang
pengunjung di dalam, sepasang remaja yang duduk di pojok ruangan dan seorang
laki-laki muda yang bercengkrama mesra dengan laptop di hadapannya.
Dari luar, penampakan kafenya terbilang
tidak terlalu menarik, tapi ada suasana yang berbeda begitu kami masuk ke
dalam. Dinding-dinding ruangan berselimutkan wallpaper dengan corak kayu berwarna cokelat tua, senada dengan
lantainya yang tersusun dari papan-papan dengan warna serupa. Tidak banyak
pajangan di dindingnya. Kalau kuhitung, di ruangan ini hanya terdapat enam set
sofa lengkap dengan meja bundar yang terbuat dari kayu pula. Demi apa, sofanya empuk
sekali dan warnanya macam-macam! Aku memilih meja dengan sofa berwarna merah,
warna favoritku. Sementara temanku, yang tidak terlalu memikirkan pilihan
warna, duduk manis di sofa hijau di depanku.
Well,
sejak tadi, kami sudah menghabiskan waktu dengan obrolan random tentang
keseharian masing-masing, masa kecil, kuliah, sampai impian-impian kami. Entah
kenapa meskipun sudah lama mengenalnya, rasanya masih banyak yang belum aku
tahu tentang sosok di hadapanku ini. Tiba-tiba kami terdiam agak lama. Aku menatapnya
dan melihat ada perubahan pada raut mukanya.
“Kamu lagi mikirin apa?”
Dia berhenti memainkan sendok di
minumannya dan menatapku, “Aku lagi punya banyak masalah.. Sampai aku sendiri
bingung gimana solusinya.”
Aku mengeryitkan dahi sambil berusaha
menebak masalahnya, “Soal keluarga lagi, ya?” Dia mengangguk pelan.
“Aku capek. Aku lelah. Rasanya
banyak banget dan nggak pernah berakhir. Saking banyaknya, aku memilih buat
memendam semua masalah itu. Lama-kelamaan, jadilah bukit yang terjal dan
tinggi. Aku nggak tau itu harus diapain,” dia berbicara dengan nada sendu.
Tiba-tiba aku teringat akan sesuatu, “Aku sempet denger dari temen-temen
kalau kamu jarang pulang ke rumah lagi, ya?”
“Iya,” jawabnya singkat. Setelah hening
beberapa saat, dia manambahkan, “Aku ingin kehidupanku yang dulu. Bukan yang
seperti sekarang ini. Apa yang terjadi sekarang membuat berat pikiranku dan
malas untuk berada di rumah.”
Kami terdiam lagi.
“Hei.. sekarang coba deh, kamu
inget-inget lagi ini udah ke berapa kalinya kamu kayak gini?” kataku
memecah keheningan, “mungkin nggak terhitung lagi.”
“Kamu nggak merasakan apa yang aku
rasakan!” nada suaranya kali ini agak meninggi.
“Iya. Maaf, aku memang nggak
merasakan apa yang kamu rasakan. Tapi mendengar cerita dan keluh-kesahmu tentang
hal yang sama berulangkali membuatku cukup mengerti gimana perasaanmu.”
“Aku selalu percaya kalau setiap
orang udah “dijatah” masalah sama Tuhan sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Itu cara Dia membentuk kita dan Dia yakin kita bakal mampu melewatinya. Kamu
percaya hal yang sama juga, nggak?”
“Aku nggak pernah mikirin begituan,”
jawabnya tak acuh.
“Hmm..” sejenak aku menghela nafas.
“Oh ya, kamu inget nggak, aku pernah nanyain arti nama kamu? Wirayuda. Kok
sekarang aku penasaran lagi ya.. Kasih tau lagi dong artinya..”
“Aneh banget tiba-tiba nanyain itu,”
dia menatapku penuh selidik.
“Ya udah, sih, jelasin aja,”
paksaku.
“Hmm.. Wirayuda ya. Wira itu artinya
gagah berani, pejuang, ya pokoknya laki-laki pemberani gitulah. Yuda (Yudha)
itu mengingatkan masa perang.”
Aku tersenyum. “Nah, sekarang kamu malah
senyam-senyum sendiri,” katanya.
“Kamu sadar nggak sih, orangtuamu
nyelipin doa yang baik di namamu? Wirayuda.”
“Mereka pasti punya harapan kelak
kamu jadi laki-laki yang kuat dan pemberani ketika berperang menghadapi
masa-masa sulit!” lanjutku.
Sosok di hadapanku terdiam. Sesaat
kemudian, aku melihat raut muka haru di wajahnya.
“See? Nggak ada sesuatu yang kebetulan. Semua udah diatur sama Yang
di atas sana. Come on.. lari dari
masalah nggak akan membuat masalah itu lantas pergi. Lari dari masalah itu
pilihan buat mereka yang menolak untuk berkembang. Dan pasti mereka bukan
pemberani. Kamu tau kan, sekarang harus ngapain?”
“Jadi begitu maksudmu. Aku harusnya
berhenti berlari dan mulai menghadapi masalahku?” tanyanya ragu. Aku
menganggukkan kepalaku.
“Kamu jago ya, kalo ngomong kayak gini. Ckckck.. Sebenarnya aku nggak yakin bisa mengamalkan titipan nama yang diberikan orangtuaku. Semuanya udah terlanjur memburuk. Aku …..”
(belum selesai)
(teman)
ReplyDeletemaksudnya gimana itu, kak?
Delete