Wednesday, 21 June 2017

Wirayuda

https://id.pinterest.com/vennariss/and-the-rain-came/
Hujan masih saja turun di luar sana. Minuman cokelat panas yang sedari tadi kuseruput sudah tinggal setengah gelas. Tidak terasa sudah 1 jam lebih kami duduk di tempat ini. Hujan yang tadi turun tiba-tiba memaksa kami untuk segera mencari tempat berteduh dan kafe kecil ini menjadi penyelamat kami. Ketika kami tiba, hanya ada 3 orang pengunjung di dalam, sepasang remaja yang duduk di pojok ruangan dan seorang laki-laki muda yang bercengkrama mesra dengan laptop di hadapannya.
Dari luar, penampakan kafenya terbilang tidak terlalu menarik, tapi ada suasana yang berbeda begitu kami masuk ke dalam. Dinding-dinding ruangan berselimutkan wallpaper dengan corak kayu berwarna cokelat tua, senada dengan lantainya yang tersusun dari papan-papan dengan warna serupa. Tidak banyak pajangan di dindingnya. Kalau kuhitung, di ruangan ini hanya terdapat enam set sofa lengkap dengan meja bundar yang terbuat dari kayu pula. Demi apa, sofanya empuk sekali dan warnanya macam-macam! Aku memilih meja dengan sofa berwarna merah, warna favoritku. Sementara temanku, yang tidak terlalu memikirkan pilihan warna, duduk manis di sofa hijau di depanku.
Well, sejak tadi, kami sudah menghabiskan waktu dengan obrolan random tentang keseharian masing-masing, masa kecil, kuliah, sampai impian-impian kami. Entah kenapa meskipun sudah lama mengenalnya, rasanya masih banyak yang belum aku tahu tentang sosok di hadapanku ini. Tiba-tiba kami terdiam agak lama. Aku menatapnya dan melihat ada perubahan pada raut mukanya.
“Kamu lagi mikirin apa?”
Dia berhenti memainkan sendok di minumannya dan menatapku, “Aku lagi punya banyak masalah.. Sampai aku sendiri bingung gimana solusinya.”
Aku mengeryitkan dahi sambil berusaha menebak masalahnya, “Soal keluarga lagi, ya?” Dia mengangguk pelan.
“Aku capek. Aku lelah. Rasanya banyak banget dan nggak pernah berakhir. Saking banyaknya, aku memilih buat memendam semua masalah itu. Lama-kelamaan, jadilah bukit yang terjal dan tinggi. Aku nggak tau itu harus diapain,” dia berbicara dengan nada sendu.
Tiba-tiba aku teringat akan sesuatu, “Aku sempet denger dari temen-temen kalau kamu jarang pulang ke rumah lagi, ya?”
“Iya,” jawabnya singkat. Setelah hening beberapa saat, dia manambahkan, “Aku ingin kehidupanku yang dulu. Bukan yang seperti sekarang ini. Apa yang terjadi sekarang membuat berat pikiranku dan malas untuk berada di rumah.”
Kami terdiam lagi.
“Hei.. sekarang coba deh, kamu inget-inget lagi ini udah ke berapa kalinya kamu kayak gini?” kataku memecah keheningan, “mungkin nggak terhitung lagi.”
“Kamu nggak merasakan apa yang aku rasakan!” nada suaranya kali ini agak meninggi.
“Iya. Maaf, aku memang nggak merasakan apa yang kamu rasakan. Tapi mendengar cerita dan keluh-kesahmu tentang hal yang sama berulangkali membuatku cukup mengerti gimana perasaanmu.”
“Aku selalu percaya kalau setiap orang udah “dijatah” masalah sama Tuhan sesuai dengan kemampuan masing-masing. Itu cara Dia membentuk kita dan Dia yakin kita bakal mampu melewatinya. Kamu percaya hal yang sama juga, nggak?”
“Aku nggak pernah mikirin begituan,” jawabnya tak acuh.
“Hmm..” sejenak aku menghela nafas. “Oh ya, kamu inget nggak, aku pernah nanyain arti nama kamu? Wirayuda. Kok sekarang aku penasaran lagi ya.. Kasih tau lagi dong artinya..”
“Aneh banget tiba-tiba nanyain itu,” dia menatapku penuh selidik.
“Ya udah, sih, jelasin aja,” paksaku.
“Hmm.. Wirayuda ya. Wira itu artinya gagah berani, pejuang, ya pokoknya laki-laki pemberani gitulah. Yuda (Yudha) itu mengingatkan masa perang.”
Aku tersenyum. “Nah, sekarang kamu malah senyam-senyum sendiri,” katanya.
“Kamu sadar nggak sih, orangtuamu nyelipin doa yang baik di namamu? Wirayuda.”
“Mereka pasti punya harapan kelak kamu jadi laki-laki yang kuat dan pemberani ketika berperang menghadapi masa-masa sulit!” lanjutku.
Sosok di hadapanku terdiam. Sesaat kemudian, aku melihat raut muka haru di wajahnya.
See? Nggak ada sesuatu yang kebetulan. Semua udah diatur sama Yang di atas sana. Come on.. lari dari masalah nggak akan membuat masalah itu lantas pergi. Lari dari masalah itu pilihan buat mereka yang menolak untuk berkembang. Dan pasti mereka bukan pemberani. Kamu tau kan, sekarang harus ngapain?”
“Jadi begitu maksudmu. Aku harusnya berhenti berlari dan mulai menghadapi masalahku?” tanyanya ragu. Aku menganggukkan kepalaku.
“Kamu jago ya, kalo ngomong kayak gini. Ckckck.. Sebenarnya aku nggak yakin bisa mengamalkan titipan nama yang diberikan orangtuaku. Semuanya udah terlanjur memburuk. Aku …..”




(belum selesai)

2 comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...